SPIRITUALITAS MUDIK

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Setiap tahun masyarakat Indonesia melakukan “ritual” mudik ke kampung halaman, tempat mereka dilahirkan atau hidup di masa kecil. Tradisi mudik ini tidak hanya dilakukan pada saat menjelang lebaran atau Idul Fitri tetapi juga saat perayaan agama lain seperti Natal. Karena itu, kita sering mendengar istilah mudik Idul Fitri dan mudik Natal [dan tahun baru, sebab kedua waktu ini hampir bersamaan]. Sebagai sebuah fenomena budaya, boleh jadi di antara kita melihat dan melakukan tradisi ini lebih bersifat rutinitas yang berjalan begitu saja, tanpa makna, apalagi merenungkan spiritualitasnya. Karena itu, ketika mendengar kata mudik yang ada dalam pikiran kita adalah pulang kampung, antrian panjang kendaraan, berdesak-desakan, macet, oleh-oleh, silaturahim, “ketemu keluarga”, dan reuni. Hanya sebagian kecil masyarakat yang mencoba merenungkan makna dari tradisi ini, artinya kita berhenti sejenak untuk merenungkan, memaknai dan menghayati nilai mudik. Jika dipahami dan dihayati secara mendalam mudik sebenarnya bukan sekedar aktivitas yang bersifat fisik namun ada nilai dan spiritualitas yang terkandung di dalamnya.

Secara sederhana mudik dapat kita maknai sebagai proses kembali ke udik, tempat asal kita dilahirkan, dan asal-muasal sebelum kita meninggalkan hulu. Disebut mudik sebab kita sudah pergi meninggalkan tempat asal kita dengan berbagai alasan. Secara sosiologis kita melakukan perjalanan jauh ke luar daerah untuk mencari penghidupan, bekerja mencari nafkah keluarga, dan bergaul atau berinteraksi dengan orang dari beragam latar belakang. Secara ekonomi kita meninggalkan kampung halaman untuk mengumpulkan materi guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Secara kultural kita bertemu dengan identitas kultur lain dan membentuk kantong budaya (cultural enclave) baru. Secara politik, kita bertemu dengan beragam kepentingan sehingga sering menimbulkan gesekan, yang awalnya kawan bisa menjadi lawan, dan yang awalnya lawan dapat menjadi kawan. Kita juga disibukkan oleh urusan masing-masing dan lebih banyak “ngurusi” aspek ragawi-duniawi daripada mental-ruhani. Karena itu, ketika mudik kita berjuang sepenuh daya agar dapat kembali ke kampung halaman, bertemu dengan keluarga asal kita, dan mengenang suasana masa kecil.

Mudik dapat mendatangkan kebahagiaan, kerinduan, ketenangan, kedamaian dan ketulusan. Untuk bisa mudik ke kampung halaman, kita bahkan rela melakukan “apa saja”, yang penting bisa sampai ke tempat asal kita. Bahkan, hasil jerih payah kita selama kerja setahun “dihabiskan” selama
masa mudik. Semua dilakukan untuk mendapatkan situasi yang dirindukan seperti makanan dan minuman, tempat penuh kenangan, dan teman masa kecil. Betapa berharganya tradisi mudik bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Karena itu, dalam konteks ini, yang lebih penting sebenarnya bukan aktivitas fisik semata namun ada nilai dan spiritualitas yang dirindukan. Paling tidak ada lima kualitas positif yang seharusnya kita miliki jika kita melakukan “mudik dengan benar”. Kelima kualitas tersebut adalah kedamaian (peace), cinta (love), kebahagiaan (happiness), daya (power), dan ketulusan (purity). Ketika kita diciptakan oleh Allah, kelima kualitas tersebut sudah melekat (embedded) dalam diri setiap orang. Hanya saja, ketika kita dilahirkan dan “berkelana” mengarungi kehidupan, kelima kualitas tersebut berkurang atau bahkan hilang. Karena itu, dengan mudik kita berharap mendapatkan kelima hal tersebut.

“Mudik dapat mendatangkan kebahagiaan, kerinduan, ketenangan, kedamaian dan ketulusan.”

Dr. Muqowim, M. Ag.

Ketika kita masih berada di dalam kandungan (Rahim), kelima kualitas positif tersebut dirasakan tiap orang setiap saat. Karena itu, rahim mempunyai akar kata yang sama dengan rahima dan rahmah, penuh dengan welas asih dan kasih sayang. Di alam rahim kita tidak mengenal egoisme, kemarahan, arogansi, kelekatan pada dunia dan nafsu, tetapi begitu kita dilahirkan ke dunia justru kelima hal negatif tersebut yang sering kita rasakan dan alami. Kita sering berjuang memenuhi kebutuhan dan keinginan hidup masing-masing yang sering kali tidak berbasis pada nilai tetapi lebih berbasis pada fisik-material. Untuk mendapatkan tujuan material-duniawi ini kita kadang melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan seperti mengambil barang milik orang lain, menjatuhkan dan menyingkirkan orang lain yang dianggap menghalangi keinginan kita, dan kadang kita bersikap arogan dan penuh kemarahan jika ego kita merasa terganggu atau terganggu. Kita lebih sibuk memperjuangkan lampiran dan topeng kehidupan seperti harta, takhta, dan kata ketimbang fokus pada nilai.

Pada saat berjuang mewujudkan hal-hal yang bersifat material inilah kita kadang merasa lelah, capek, tersingkirkan, terasing, dan kosong secara nilai dan spiritual. Keberhasilan yang kita peroleh terasa hampa dan semu, tidak ada gunanya, seperti fatamorgana, dan mudah lenyap. Dalam situasi seperti ini nurani dan jiwa kita merindukan sesuatu yang lebih bersifat spiritual dan nilai. Kita merindukan hormon endorfin dan serotonin yang mendatangkan rasa penerimaan, kesyukuran, ketenangan, kedamaian, kebahagiaan, ketulusan dan cinta, bukan hormon adranelin yang cenderung menjadikan kita mudah tersulut emosi, kemarahan, “sumbu pendek”, modus, penuh kepentingan, dan arogan. Untuk mewujudkan kualitas positif tersebut, kita perlu “mudik”, proses kembali ke tempat asal jiwa, saat kita diciptakan oleh Allah. Kita berjuang melakukan mudik untuk mendapatkan suasana penuh ketenangan dan kedamaian, tidak ada prasangka, ketegangan, konflik, perebutan, dan kekerasan.

Kita merindukan suasana penuh cinta. Orientasi cinta adalah kesenangan untuk memberi, memaafkan, berbagi, peduli, mengabdi dan melayani, bukan mengambil, egois, dan minta dilayani. Kita rindu suasana di mana setiap orang lebih berorientasi untuk saling memberi. “Apa yang bisa saya bantu?” lebih baik daripada “ada yang bisa bantu saya?” Melayani sepenuh hati, keramahan dan welas asih sangat kita dambakan. Memaafkan tanpa harus dimintai maaf terlebih dahulu menjadi sebuah kebutuhan. Dengan mudik kita berharap mendapatkan suasana penuh dengan cinta yang tulus, bukan cinta modus dan cinta bersyarat (conditional love). Cinta universal ini dapat kita terapkan untuk semua hal seperti relasi sosial, budaya, ekologi dan kebangsaan. Orientasi orang yang punya cinta adalah keluar diri kita untuk lebih menekankan berbagi dan memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk mendapatkan dan mengambil sebanyak-banyaknya untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Dengan mudik, kita juga akan mendapatkan kebahagiaan yang otentik, bukan kebahagiaan semua, “seakan-akan bahagia”. Untuk mewujudkan kebahagiaan tersebut sebenarnya kita tidak perlu apa-apa, hanya perlu mengubah sudut pandang, shifting paradigm, menerima diri apa adanya (accepting) semua yang telah diberikan oleh Allah. Semua nikmat Allah tersebut kita gunakan untuk hal-hal yang positif, bermanfaat, berguna dan berkah dalam kehidupan sehari-hari. Allah sudah memberikan kualitas kebahagiaan ini dalam diri kita, hanya saja kita jarang merawatnya. Kita lebih banyak menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Kita lebih banyak mendepankan keinginan daripada kebutuhan. Untuk itu, kita perlu merenungkan dan mensyukuri setiap hal yang melekat dalam diri kita. Kita perlu berterima kasih masih bisa bernafas, dan menghirup udara segar. Kita bersyukur masih bisa melihat, mendengar, menggerakkan tangan, melangkahkan kaki, dan membedakan rasa makanan. Jika kita melakukan hal-hal sederhana ini secara positif, maka hidup kita lebih bahagia ketimbang menekankan pada “keinginan meraih sesuatu di luar diri kita”.

Akhirnya, mudik seharusnya menjadikan diri kita merasakan ketulusan dan kemurnian. Sebenarnya tidak ada yang kita cari di dunia ini kecuali nilai dan spiritualitas agar kita terhubung dengan Sang Khaliq dan semua makhluk-Nya. The only mission in the world adalah menjadi agen rahmatan lil-‘alamin, menyebarkan nilai-nilai kerahmatan bagi seluruh alam. Kita seharusnya lebih menyadari kehadiran diri kita di dunia sebagai hamba Allah dan wakil-Nya untuk menjaga, merawat dan melestarikan alam serta membangun hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Apa pun yang kita lakukan semata-mata untuk menebarkan nilai positif, tidak ada tendensi atau motif keduniaan, hanya mengharap ridla dan berkah dari Allah. Karena itu, dalam konteks ajaran Islam mudik pada dasarnya identik dengan ‘idul fithri, kembali kepada kondisi otentik saat manusia diciptakan oleh Allah. Kualitas yang kita rasakan saat kembali otentik adalah penuh kedamaian, cinta, kebahagiaan, daya dan ketulusan. Untuk dapat meraih kembali kualitas tersebut kita harus berjuang mengendalikan egoisme, kemarahan, arogansi, kelekatan pada materi dan hawa nafsu.

Kelima hal negatif tersebut seharusnya dapat ditekan melalui sarana puasa sebab outcome dari ritual ini sebenarnya adalah self-control, menahan diri (imsak). Hanya saja sebagia umat beragama [Islam] ketika menjalankan ibadah puasa lebih berorientasi pada output sehingga yang diperoleh hanyalah lapar dan dahaga. Jika kita gagal menahan diri dari kelima hal tersebut, maka kita tidak akan pernah mendapatkan kualitas kefitrian. Hanya saja, sejauh ini secara sosiologis, semakin mendekati akhir bulan Ramadhan, sebagian umat Islam semakin berat mengendalikan lima tantangan tersebut. Hal ini antara lain ditandai oleh semakin ramainya pusat-pusat perbelanjaan, kemacetan di jalan raya yang menimbulkan kemarahan, egoisme dan arogansi, dan “perlombaan” unjuk kesuksesan secara material ketika mudik dengan “beragam aksesoris” dunia seperti kendaraan, perhiasan, rumah, dan pendapatan. Kita seakan lupa bahwa semua itu hanyalah perhiasan dunia, sedangkan tempat sebaik-baik kembali adalah Allah. Semua lampiran keduniaan tersebut bersifat sementara, sedangkan yang kekal dan abadi hanyalah Allah.

Dalam tradisi Jawa ada istilah “sangkan paraning dumadi”, artinya dari mana kita berasal dan ke mana kita akan kembali. Ungkapan ini sering disandingkan dengan kalimat istirja’, innaa-lillaahi-wainnaa-ilaihi-raaji’uun. Sesungguhnya kami semua milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Jika kita renungkan kedua ungkapan tersebut dapat kita pahami pahami semua yang ada di dunia ini, termasuk manusia, adalah milik Allah dan akan kembali semua kepada-Nya. Karena itu, tidak ada konsep memiliki oleh manusia. Semua hal yang “kita miliki” hanyalah titipan yang harus kita rawat dan jaga dengan sebaik-baiknya. Menjadi sangat naif jika kita “mati-matian” dan penuh berjuang untuk mencari harta, agar kita memiliki harta tersebut, bahkan kadang dengan menyakiti dan mandzalimi orang lain. Padahal semua yang “kita miliki” akan dimintai pertanggungjawaban terkait dari mana sumbernya, cara kita memperolehnya dan bagaimana menggunakannya. Dengan spirit ‘idul fithri, kita tidak akan “ngoyo” mencari harta, sebab yang perlu kita cari adalah kualitas nilai dan spiritual, bukan hal-hal yang bersifat material.

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *