Tantangan Menghidupkan Kualitas Positif

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Kita mendambakan hidup penuh kedamaian. Dunia merindukan situasi damai sebab di hampir semua belahan dunia masih terjadi berbagai macam ketegangan, kekerasan, teror, konflik, dan peperangan, masih jauh dari suasana damai dan tenang. Kebahagiaan juga menjadi dambaan tiap orang. Semua yang kita lakukan bahkan untuk mendapatkan kebahagiaan. Kita rela mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran, bekerja siang malam banting tulang untuk meraih kebahagiaan.

Sejauh ini kebahagiaan lebih banyak dikaitkan dengan kepemilikan sesuatu yang bersifat dunia seperti keluarga, harta, dan takhta. Seakan-akan kita dapat mendapatkan kebehagiaan dengan memiliki hal-hal tersebut. Kita mungkin berpikir dengan pergi ke mal atau pantai, misalnya, kita akan bahagia. Bahkan kita menghabiskan banyak uang untuk mendapatkan kebahagiaan. Yang terjadi justru kita tidak lebih bahagia, malah lebih menderita karena merasa kecewa sudah kehilangan uang. Padahal, kebahagiaan tidak perlu dicari di luar diri kita, sebab nilai ini sudah ada dalam diri kita. Yang perlu kita lakukan adalah menghidupkan nilai kebahagiaan dengan menerima diri apa adanya, bersyukur atas semua yang diberikan oleh Allah, bersikap positif dengan semua yang kita miliki, melakukan aktifitas secara lahir dan batih, dan memaknai setiap aktifitas secara positif.

Seperti halnya kedamaian dan kebahagiaan, berdaya merupakan kualitas yang kita miliki sejak diciptakan oleh Allah. Dengan daya seorang anak yang baru dilahirkan dapat mencari air susu ibunya, bergerak, duduk, merangkak, dan berdiri. Berdaya tidak hanya terkait dengan dimensi fisik, bahkan yang lebih penting adalah kualitas ini terkait dengan jiwa seperti semangat, mau berubah, enerjik, optimis, berani melangkah dan memutuskan. Sementara itu, kualitas kemurnian terkait dengan ketulusan, keikhlasan, otentik, organik, natural, dan imparsial. Kualitas ini masih utuh saat kita berada di dalam kandungan. Ketika kita dilahirkan lingkungan sekitar, terutama keluarga, yang menyebabkan kualitas ini semakin berkurang. Berbagai kepentingan yang bersifat profane mempengaruhi kita ketika berpikir dan bertindak sehingga kita tidak lagi mempunyai ketulusan.

Untuk menjaga lima kualitas positif di atas, banyak tantangan yang kita hadapi. Paling tidak ada lima hal yang menyebabkan lima kualitas positif tersebut berkurang atau bahkan hilang dari diri kita. Lima hal ini membuat kita tidak lagi berorientasi pada nilai positif dalam mewujudkan tujuan hidup. Kelima hal tersebut adalah egoisme (egoism), kemarahan (anger), arogansi (arrogance), kelekatan pada materi (material attachment), dan nafsu (lust). Egoisme terkait dengan sikap mementingkan diri sendiri. Sebenarnya kata ego (self) bersifat netral, bahkan bermakna positif, sebab setiap orang mempunyai ego yang membedakan dirinya dengan orang lain. Setiap orang mempunyai keunikan dan keistimewaan. Namun istilah egoisme cenderung bermakna negatif sebab menganggap diri kita paling hebat dan mengabaikan ego orang lain. Egoisme mengarah pada konsep kepemilikan, bahwa yang sesuatu melekat dalam diri kita adalah milik kita, karena itu harus dipertahankan mati-matian, sehingga kurang memperhatikan kepentingan orang lain.

Kemarahan menyebabkan kualitas positif berkurang atau bahkan hilang. Kemarahan muncul karena ada bagian dari milik kita berkurang atau hilang. Selain itu, kemarahan terjadi karena apa yang kita inginkan tidak terjadi dan masih ada jarak antara apa yang kita harapkan dengan kenyataan. Kemarahan tidak akan terjadi jika kita mempunyai pandangan bahwa pada hakikatnya tidak ada satu pun yang kita miliki di dunia ini. Semua yang ada dalam diri kita hanyalah titipan dan milik Allah. Semua titipan ini seharusnya kita jaga dengan sebaik-baiknya, menjaga dengan cara yang benar, sebab kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban atas titipan tersebut. Bahkan, sewaktu-waktu, titipan kita akan dimabil oleh pemiliknya. Dengan demikian, ketika ada bagian dari diri kita yang hilang akan disikapi secara positif, bukan kemarahan.

Penyebab ketiga dari berkurangnya kualitas positif yang kita miliki adalah arogansi. Arogansi dapat dimaknai dengan sikap menganggap diri paling hebat, cenderung meremehkan, penuh kesombongan atau menganggap rendah pihak lain. Arogansi biasanya terkait dengan kekuasaan atau kedudukan dalam konteks lembaga atau masyarakat. Dalam konteks lembaga sikap arogan antara lain tampak dari menganggap diri paling hebat, paling berjasa, dan paling penting, cenderung mengabaikan atau meremehkan peran orang lain. Mungkin kita pernah mendengar ungkapan, “Kalau bukan karena Saya, jadi apa lembaga ini”, “Kamu itu bisa apa, anak kemarin sore saja berani sama Saya”, dan “Kamu tahu nggak siapa Saya?” Sikap arogansi menyebabkan kita tidak dapat berkomunikasi dan terhubung secara positif dengan orang lain, sebab komunikasi efektif hanya dapat dilakukan jika kita mampu menghargai, bersikap empati dan rendah hati terhadap orang lain.

Kelekatan pada hal-hal yang bersifat materi menyebabkan kita tidak akan terhubung dengan orang lain secara nilai atau spiritual. Bahkan, aspek materi yang menjadikan kita tersekat, terpisah, terkotak-kotak oleh berbagai macam topeng atau lampiran duniawi. Semua langkah dan tindakan kita lebih didorong oleh kepentingan materi. Motivasi utama dalam bergerak hanyalah kepentingan materi seperti harta, kedudukan, gelar, status, ijazah, dan kelompok. Munculnya banyak konflik, ketegangan dan kekerasan antar kelompok lebih banyak disebabkan oleh adanya benturan kepentingan dunia tersebut, misalnya kepentingan ekonomi dan politik. Mungkin kita sering mendengar istilah, “tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang abadi adalah kepentingan”. Karena itu, kita sering menjumpai dalam dunia politik, pagi sebagai kawan sore menjadi lawan, atau sebaliknya, pagi sebagai lawan sore menjadi kawan.

Penyebab terakhir berkurang atau hilangnya kualitas positif untuk meraih tujuan hidup adalah nafsu. Nafsu berbeda dengan cinta. Jika nafsu cenderung berorientasi memenuhi atau menuruti kepentingan sendiri yang bersifat birahi (seksual), menjadikan pihak lain sebagai obyek, sedangkan cinta lebih berorientasi memberikan yang terbaik kepada orang lain. Nafsu cenderung menghancurkan dan berdampak negatif lain terhadap orang lain, sedangkan cinta lebih bersifat menjaga, merawat dan melindungi. Munculnya banyak penyimpangan seksual, maraknya pornografi dan pornoaksi, serta pelecahan seksual lebih disebabkan oleh hilangnya kemampuan mengendalikan nafsu. Jika hal ini dibiarkan maka tujuan hidup yang berbasis nilai-nilai positif tidak akan dapat diwujudkan. Di era digital saat ini, konten di media sosial yang cenderung membangkitkan nafsu lazim kita jumpai. Karena itu, self-control dan back to values-based goalsetting harus selalu kita lakukan.

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →