Tradisi Studi Islam di Perguruan Tinggi Islam [3]

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Peta Studi Islam Tingkat Doktor sebelum Transformasi UIN Sunan Kalijaga
Keberadaan Program Doktor merupakan bagian tak terpisahkan dari Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Karena itu, ketika berbicara tentang pendirian program ini pun tidak dapat lepas dari sejarah berdirinya Program Pascasarjana, yang notabene membawahi dua program, yakni Program Magister (S.2) dan Program Doktor (S.3). Pendirian Program Pascasarjana merupakan salah satu manifestasi dari fungsi yang harus diaminkan oleh IAIN, yakni harapan akademik (academic expectation). Setidaknya, ada tiga tujuan yang ingin dicapai melalui penyelenggaraan program ini, yaitu : (1) memiliki kemampuan untuk mengembangkan konsep baru di bidang ilmu atau profesinya, melalui penelitian, (2) memiliki kemampuan untuk melaksanakan, mengorganisasikan dan memimpin program penelitian, dan (3) memiliki kemampuan untuk melakukan pendekatan interdisipliner bagi penerapan keahliannya secara professional.

Program Doktor IAIN Sunan Kalijaga berdiri berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 26 Tahun 1983 tentang Pembukaan Fakultas Pascasarjana dan Pendidikan Doktor pada IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta, tertanggal 16 Maret 1983, yang ketika itu Departemen Agama di bawah kepemimpinan H. Alamsjah Ratuprawiranegara. Empat belas tahun kemudian Surat Keputudsan ini diperkuat lagi dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 208 Tahun 1997 tertanggal 19 Mei 1997 tentang Penetapan Kembali Penyelenggaraan Program Psacasarjana Magister (S.2) dan Doktoral (S.3) Bidang Ilmu Agama Islam Institut Agama Islam Negeri Syarif hidayatullah di Jakarta dan Sunan Kalijaga Yogyakarta serta Program Studi Magister (S.2) Ilmu Agama Islam pada IAIN ar-Raniry  Banda Aceh, Alauddin Ujung Pandang, Sumatra Utara Medan, Imam Bonjol Padang, dan Sunan Ampel Surabaya. Berdasarkan keputusan tersebut, berarti hanya ada dua IAIN yang menyelenggarakan pendidikan Program Doktor, yakni IAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta.

Berdasarkan SK Menteri Agama Nomor 26 Tahun 1983, Program Doktor di IAIN Yogyakarta disebut dengan Pendidikan Doktor yang merupakan bagian tak terpisahkan dengan Fakultas Pascasarjana. Ketika itu, lembaga ini dipimpin oleh Prof. H. Zaini Dahlan, M.A di samping jabatannya sebagai Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ketika  Prof. H. Zaini Dahlan, M.A. diangkat sebagai Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama pada tahun 1984, maka Pimpinan Fakultas Pascasarjana dan Pendidikan Doktor diserahterimakn kepada Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat, yakni pada tahun 1984-1992. Pada perkembangan berikutnya, nama Fakultas Pascasarjana dan Pendidikan Doktor diubah menjadi Program Pascasarjana yang dipimpin oleh seorang Direktur. Jabatan ini pertama kali dipegang oleh Prof. Dr. H. Nourouzzaman Shiddiqi, M.A. yang menggantikan Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat pada tahun 1992.[1] Namun, karena pada tanggal 16 Juli 1999 Prof. Dr. H. Nourouzzaman Shiddiqi, M.A. meninggal dunia, maka sambil menunggu pengangkatan Direktur baru yang bersifat definitif, jabatan Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga dirangkap oleh Rektor IAIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar.

Selanjutnya terhitung mulai tanggal 7 Februari 2000 ditetapkan pengangkatan Prof. Dr. H. Faisal Ismail, M.A sebagai Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga. Namun demikian, baru sekitar empat bulan melaksanakan tugas sebagai Direktur, beliau diangkat oleh Presiden R.I sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama di Jakarta. Karena itu, maka sesuai dengan Penjelasan Pasal 54 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999, mulai tanggal 12 Juni 2000, dengan SK Rektor, untuk sementara sambil menunggu diangkat Direktur yang definitif, jabatan Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga dirangkap oleh Pembantu Rektor I Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, sebagai Pejabat Direktur. Ketika Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah diangkat menjadi Rektor IAIN Sunan Kalijaga, pada tanggal 2002, jabatan Direktur diserahterimakan kepada Prof. Dr. H. Musa Asy’arie didampingi oleh seorang Asisten Direktur, yaitu Dr. H. Iskandar Zulkarnain hingga sekarang.

Berdasarkan kajian singkat penulis terhadap karya disertasi di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, kecenderungan arah kajian Islam yang dikembangkan oleh PPs UIN Sunan Kalijaga, baik dari aspek materi kajian maupun pendekatan yang digunakan, sangat dipengaruhi oleh para decision makers, yakni pengelola yang ada di lembaga ini. Karena itu, kecenderungan pemikiran yang dimiliki oleh pengelola akan berpengaruh terhadap kurikulum yang dibuat, termasuk pendekatan dan para pengajarnya. Hal inilah yang membuat “arah angin” kajian Islam di sebuah lembaga pendidikan, yang tercermin dari perjalanan lembaga (Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga) dari satu pengelola ke pengelola yang lain.

Sebagai ilustrasi, berdasarkan distribusi tema kajian di PPs IAIN Sunan Kalijaga (sejak berdiri sampai tahun 2000) didominasi oleh cabang pendidikan Islam dan pemikiran dasar Islam. Untuk cabang yang pertama agaknya dipengaruhi oleh figur Zakiah Daradjat yang pernah menjadi Direktur PPs (dulu: Dekan) UIN Yogyakarta yang ahli dalam bidang pendidikan Islam dan ilmu jiwa agama. Selain itu, faktor pengajar yang sebagian berasal dari Universitas Negeri Yogyakarta (dulu: IKIP Yogyakarta) juga menjadi salah satu sebab dominannya kajian dalam bidang pendidikan. Sementara itu, dominannya kajian dalam cabang pemikiran dasar Islam yang mencakup filsafat, tasawuf, teologi, dan perbandingan agama, sangat mungkin disebabkan oleh figur Mukti Ali, Simuh, Amin Abdullah, dan Machasin, masing-masing ahli dalam bidang perbandingan agama, tasawuf, serta filsafat dan kalam.

 Untuk cabang perkembangan modern/pembaharuan dalam Islam yang menempati peringkat kedua, setidaknya ada dua hal yang menjadi sebab. Pertama, banyaknya matakuliah di Program Doktor yang lebih berorientasi pada sejarah pemikiran dan peradaban Islam mulai dari era klasik sampai modern. Kedua, figur Nourouzzaman Shiddiqi yang concern dalam bidang sejarah dan peradaban Islam agaknya merupakan sebab lain. Kecenderungan ke arah historical-oriented ini tampaknya mengikuti “McGill School” yang lebih menekankan pendekatan sejarah dalam mengembangkan kajian Islam. Pengaruh ini tercermin dari matakuliah yang ditawarkan pada Program Doktor via figur Mukti Ali, Harun Nasution secara tidak langsung, dan Nourouzzaman yang juga alumni McGill University. Cabang ini pada dasarnya terkait erat dengan cabang sejarah dan peradaban Islam. Hanya saja, cabang yang pertama cenderung mengkaji perkembangan pemikiran Islam kontemporer, sementara yang kedua berkaitan dengan kajian Islam pada era klasik dan pertengahan.

Yang menarik untuk dicermati lebih jauh adalah tentang pengembangan cabang ilmu sumber ajaran Islam yang menempati urutan ketiga, yakni ada 13 disertasi di PPs. Cabang ini pada dasarnya mencakup kajian al-Qur’an dan al-Hadis. Namun, dari jumlah tersebut, tidak satu pun disertasi yang telah diujikan melalui Ujian Terbuka mengangkat bidang al-Hadis sebagai tema kajian. Kesembilan disertasi tersebut membahas kajian al-Qur’an (Qur’anic studies), baik dari segi pengembangan konsep yang bersumber dari al-Qur’an maupun tentang perkembangan kajian al-Qur’an. Meskipun demikian, ketimpangan ini agaknya akan segera berubah dalam beberapa tahun mendatang seiring dengan mulai banyaknya tema proposal disertasi yang telah disetujui oleh MPA yang membahas tentang bidang al-Hadis dari berbagai aspeknya.

Cabang hukum Islam dan pranata sosial menempati urutan berikutnya, yakni 12 disertasi. Yang menarik untuk dicermati adalah bahwa dari jumlah tersebut, sebagian besar tema kajian lebih berorientasi hukum Islam kontemporer dan dikaitkan dengan isu-isu yang aktual, seperti hukum Islam yang tercermin dalam perundang-undangan di suatu negara, status wanita dalam konteks perundang-undangan modern, kajian hukum waris klasik yang dikaitkan dengan penalaran kontemporer, dan kajian hukum Islam kontemporer di organisasi NU melalui Lajnah Bahtsul Masa’il-nya. Tampak sekali bahwa kecenderungan klasik mulai ditinggalkan, sebab hanya ada satu disertasi yang mengangkat tema usul al-fiqh klasik menurut al-Ghazali dan satu disertasi tentang konsep keadilan.

Dibandingkan dengan cabang ilmu yang lain, cabang bahasa dan sastra Islam serta dakwah Islam paling “memprihatinkan” dan “impensee.” Sebab, masing-masing cabang tersebut hanya dibahas oleh satu mahasiswa. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terpinggirkannya cabang bahasa Arab. Pertama, di PPs UIN Yogyakarta bahasa Arab hanya dijadikan sebagai matakuliah lintas disiplin, bukan pengembangan ilmu bahasa. Kedua, belum adanya pakar setingkat Doktor yang khusus dalam bidang bahasa Arab. Ketiga, sebagai konsekuensi dari yang kedua, tidak adanya Program Studi atau Konsentrasi di tingkat Pascasarjana yang mengambangkan ilmu ini. Sedangkan untuk ilmu dakwah Islam, beberapa hal yang menjadi penyebab adalah (1) minimnya mahasiswa Program Doktor yang berlatar belakang ilmu dakwah; (2) seperti halnya poin kedua dari ilmu bahasa Arab, belum adanya pakar setingkat Doktor dalam bidang ilmu dakwah, dan (3) secara keilmuan tampak ada keraguan untuk mengembangkan dakwah sebagai sebuah disiplin ilmu dengan landasan filsafat ilmu yang kokoh.

Selain dari aspek materi kajian, kecenderungan kajian Islam juga dapat dilihat dari pendekatan yang digunakan. Dilihat dari aspek ini, cukup banyak variasi pendekatan yang digunakan oleh mahasiswa untuk membedah tema yang diangkatnya, meskipun tidak semua disertasi menyebut secara eksplisit pendekatan yang dipakai. Bahkan, ada di antara disertasi yang menyamakan terma pendekatan dengan metode, sehingga muncul ketidakjelasan alat bedah yang digunakan dalam karya disertasinya. Secara umum, pendekatan yang digunakan dalam disertasi antara lain sejarah, tafsir tematik, filologi, fenomenologi, sosiologi, linguistik, dan filosofis. Dari disertasi yang diteliti, belum ada disertasi yang menggunakan pendekatan arkeologi dan sains dalam kajiannya, padahal disiplin ini sangat membantu dalam mengungkap peninggalan Islam masa lalu.

Dari sejumlah pendekatan tersebut, yang paling digunakan adalah pendekatan historis disusul kemudian tafsir tematik (mawdu’i). Yang menarik adalah dari sejumlah disertasi yang menggunakan pendekatan sejarah tersebut, di antaranya telah menggunakan pendekatan sejarah sosial dan intelektual yang selama ini didominasi oleh sejarah politik. Alasan dominannya pendekatan sejarah ini antara lain karena banyaknya matakuliah yang berorientasi sejarah. Hanya saja, untuk kurikulum Program Doktor yang saat ini dikembangkan sudah tidak lagi terlalu berorientasi sejarah, namun pada isu-isu kontemporer, sehingga agaknya akan terjadi perubahan tema kajian untuk beberapa tahun mendatang. Berdasarkan pada kesimpulan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pengelola lembaga ini terkait dengan pengembangan pendidikan anak usia dini. Pertama, pengelola perlu segera membuat peta jalan (roadmap) penelitian tesis sebagai bentuk branding lembaga dan distingsi dengan PTKI lain. Kedua, berkaitan dengan tidak meratanya disiplin ilmu dalam kajian pendidikan anak usia dini yang dikembangkan oleh Program Studi PIAUD S2 FITK UIN Sunan Kalijaga dalam arti bahwa ada disiplin ilmu tertentu yang sudah overloaded, sementara disiplin lainnya relatif “tidak tersentuh,” maka untuk pengembangan kajian pendidikan anak usia dini di masa mendatang perlu dibuat grand design tema kajian yang harus dikembangkan oleh mahasiswa melalui penelitian tesisnya dalam kurun waktu tertentu. Ketiga, terkait dengan poin sebelumnya, untuk mengembangkan kajian pendidikan anak usia dini Program Studi perlu membentuk wadah keilmuan, baik berupa Pusat Studi, Jurnal Ilmiah, Konsorsium Ilmu (consortium of science), atau Jaringan Keilmuan Studi PIAUD Nasional dan Internasional sebagai media dialog antar dosen dan mahasiswa yang mempunyai concern keilmuan sejenis dan lintas disiplin. Keempat, berkaitan dengan adanya perbedaan cara pandang dalam memahami makna pendekatan atau metodologi dalam penelitian, Program Studi perlu mempertegas makna dan signifikansi metodologi penelitian yang mencakup pendekatan, model, dan metode penelitian, baik metode pengumpulan data maupun metode analisis. Hal ini bisa dilakukan dengan pemberian matakuliah metodologi di kelas maupun melalui konsultasi informal secara intensif (klinik metodologi) oleh tim yang dibentuk oleh Program Studi. Kelima, Program Studi perlu mendorong mahasiswa untuk mendiseminasikan hasil penelitiannya melalui berbagai media seperti jurnal ilmiah atau forum akademik seperti seminar, konferensi, koloqium, dan workshop.


[1] Tim Penyusun 70 Tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 1999), 22.

Melanjutkan membaca “Integrative Paradigm: Arah Baru Studi Islam di PTKI

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *