Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)
Belajar Studi Islam Era IAIN: Kasus UIN Sunan Kalijaga
Studi Islam sudah dilakukan sejak agama ini diturunkan, terutama pada era Rasulullah. Studi Islam yang dimaksud adalah melakukan kajian terhadap agama Islam dengan beragam motivasi. Bagi orang Islam selaku insider, belajar tentang Islam untuk memperkuat keimanan dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya, sementara bagi orang non-Islam selaku outsider, mengkaji Islam dilakukan untuk memahami agama ini secara obyektif, meskipun ada juga yang mengkaji untuk kepentingan “menjatuhkan” terutama bagi yang tidak menyukai agama Islam. Poin yang bisa diambil adalah bahwa kajian terhadap Islam telah dilakukan oleh semua pihak baik di Timur, sebagai terma untuk menunjukkan wilayah yang banyak dihuni oleh pemeluk Islam, dan Barat, yang merujuk pada wilayah yang banyak dihuni oleh pemeluk non-Islam.
Berbicara tentang kajian Islam di Barat dan Timur, para pemikir muslim seperti Rahman,[1] al-Jabiri,[2] Amin Abdullah[3] dan Azyumardi Azra[4] umumnya sependapat bahwa corak dan karakteristik kajian Islam yang berkembang di Barat lebih bersifat historis dan sosiologis dengan melihat berbagai realitas keagamaan yang ada (current issues). Sementara itu, kajian Islam di dunia Timur lebih bercorak normatif-doktrinal, kurang melihat realitas obyektif di lapangan. Karena itu, tidak mengherankan jika kajian Islam di Barat dianggap lebih liberal dan “tidak taat” terhadap Islam, sedangkan kajian Islam di dunia Timur dianggap lebih “taat” dan “committed” terhadap ajaran Islam.[5]
Pandangan para ilmuwan di atas harus diakui merupakan fenomena umum, meskipun sebenarnya sudah ada kajian Islam di dunia Timur yang “menyimpang” dari tradisi normatif-doktrinal-idealis. Sebagai contoh, beberapa pemikir yang melakukan kajian Islam “secara menyimpang” adalah Hassan Hanafi, Zaki Najib Mahmud, dan Abdellahi Ahmed an-Na’im. Meskipun ketiga pemikir ini sama-sama berada di dunia Timur, namun negara asalnya berbeda. Ini berarti terdapat perbedaan kecenderungan dalam kajian Islam di berbagai negara dunia Timur. Perbedaan ini bisa saja dikarenakan oleh faktor individu pemikir Islam itu sendiri, namun bisa juga karena iklim intelektual dari negara setempat. Kondisi demikian mengindikasikan adanya keragaman dalam kajian Islam di dunia Timur baik dalam hal isi maupun metodologinya. Varian kajian Islam yang berkembang di wilayah Asia Tenggara (South-East Asia) berbeda dengan yang dikembangkan di belahan dunia Timur lainnya, seperti Asia Selatan (South Asia), Timur Tengah (Middle East), Timur Jauh (Far East) maupun Timur Dekat (Near East). Karena itu, adalah tidak fair menganggap bahwa tradisi kajian Islam di seluruh dunia Timur sepenuhnya normatif dan tidak kontekstual, apalagi statis.
Sebagai salah satu negara yang tergolong ke dalam kelompok dunia Timur, yakni wilayah Asia Tenggara, Indonesia bisa dijadikan sebagai sampel untuk melihat sejauh mana kajian Islam berkembang di Timur. Selain sebagai negara yang penduduknya beragama Islam paling besar di dunia, tradisi kajian Islam di Indonesia juga sudah berkembang cukup lama, seiring dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di wilayah ini, meskipun dengan corak dan kecenderungan yang selalu mengalami perubahan. Kajian Islam yang berkembang sebelum abad ke-20 tentu saja jauh berbeda dengan yang terjadi pada abad ke-20. Kajian Islam di institusi pendidikan non-formal, seperti pesantren, tentu berbeda dengan yang terjadi di lembaga pendidikan formal, seperti IAIN.
Berkaitan dengan persoalan tersebut, tulisan ini bermaksud membahas tradisi kajian Islam, terutama dalam aspek tema kajian dan pendekatan yang digunakan, di lembaga IAIN sebagai institusi yang bergerak dalam pengembangan kajian keislaman di Indonesia. Seperti diketahui bahwa berdirinya IAIN pada tahun 1960 merupakan perkembangan lebih lanjut dari Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang terletak di Yogyakarta pada 1950 dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, yang didirikan pada tanggal 1 Juni 1957.[6] Secara umum ada dua tujuan utama didirikannya IAIN. Pertama, untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan agama Islam. Kedua, untuk mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan agama Islam serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan Nasional. Dengan tujuan ini, ada dua harapan yang dibebankan pada lembaga IAIN, yakni harapan akademis (academic expectation) dan harapan sosial (social expectation). Harapan pertama berkaitan dengan pengembangan kajian Islam secara akademis-ilmiah, sementara harapan yang kedua berkaitan dengan kontribusi nyata lembaga terhadap masyarakat sekitar.
Untuk memenuhi harapan yang kedua, pada awal tahun 1980-an Departemen Agama membuka Program Pascasarjana, program Magister (S2) dan program Doktor (S3), di dua IAIN besar, yakni IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1982) dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1983). Tujuan umum diselenggarakannya program ini adalah untuk menghasilkan tenaga kesarjanaan yang ahli dalam ilmu-ilmu keislaman guna menjadi tenaga pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Sedangkan secara khusus ada tiga tujuan yang ingin dicapai oleh pendirian Program Pascasarjana di IAIN. Pertama, untuk mengembangkan kemampuan dan keahlian peserta untuk menguasai ilmu pengetahuan keislaman termasuk ilmu bantu yang diperlukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan keislaman serta mengamalkannya. Kemudian, untuk memiliki keahlian dan ketrampilan dalam bidang-bidang ilmu keislaman dan penelitian menurut bidangnya masing-masing. Dan, tujuan yang terakhir adalah memiliki sikap dan amal ilmiah serta bertanggung jawab sebagai tenaga ahli di bidang ilmu pengetahuan keislaman.[7]
Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bertujuan mengembangkan kajian keislaman, IAIN dihadapkan pada berbagai persoalan yang terus berkembang seiring dengan tuntutan jaman. Menurut Azra kajian Islam memiliki arti luas, yang meliputi penelitian terhadap seluruh aspek peradaban Islam dan kehidupan Muslim di masa lalu, sekarang dan akan datang. Hal ini senada dengan Nasr[8] yang berpendapat bahwa adalah sangat mungkin pada saat ini untuk mengembangkan “ilmu-ilmu pasti” dalam program studi Islam, karena Islam memiliki warisan yang banyak dalam bidang tersebut. Pada zaman klasik dan pertengahan Islam, ‘ilmu-ilmu pasti’ seperti matematika, astronomi, kedokteran, kimia, geografi, fisika, dan sebagainya sangat berkembang. Dengan pertimbangan ini, menurut Azra, program studi Islam tidak hanya dipandang sebagai program teologi Islam atau penelitian hukum Islam.[9] Gagasan dan warisan Islam dalam bidang-bidang tersebut dapat dikontekstualisasikan pada konteks kekinian, khususnya untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi umat Islam.
Dihadapkan pada tantangan tersebut, kajian Islam di Indonesia terutama di IAIN belum berjalan secara maksimal. Banyak kritikan tajam dilontarkan oleh para pemikir terhadap tradisi keilmuan di IAIN. Mastuhu, misalnya, berkaitan dengan lemahnya tradisi penelitian di IAIN mengemukakan adanya lima hal yang menyebabkan penelitian di IAIN paling lemah. Pertama, minimnya sumber daya tenaga-tenaga ahli peneliti agama (Islam). Kedua, pandangan keilmuan di IAIN belum berkembang secara dinamis. Seringkali masih terjadi campur aduk antara pemakaian “bahasa ilmu”, “bahasa agama”, atau “bahasa kepercayaan” dan “bahasa harian (common sense)”. Ketiga, belum berkembangnya tradisi pemikiran empirik di IAIN. Keempat, kaya materi, miskin metodologi. Dan, kelima, secara kultural bidang agama terasa lebih peka jika dibandingkan dengan bidang ilmu umum.[10] Alasan keempat, yakni lemahnya metodologi, tersebut jauh-jauh hari sebelumnya telah dilontarkan oleh Mukti Ali, mantan Menteri Agama. Selain aspek metodologi, aspek penguasaan bahasa asing, terutama bahasa Arab dan Inggris, yang lemah juga menjadi kritik Mukti Ali.[11] Selain kedua ilmuwan internal IAIN tersebut, Margaret Gilles, seorang profesor dari McGill University, Kanada, juga memberikan penilaian terhadap IAIN. Menurutnya, ketika melakukan penelitian di IAIN, yang kemudian dimuat dalam Jurnal Islamic Quarterly tahun 1990, di antara kelemahan IAIN adalah lemahnya penguasaan bahasa asing, Arab dan Inggris, minimnya fasilitas (terutama referensi di perpustakaan), dan pola pengajaran yang masih tradisional. Tulisan ini lebih memusatkan perhatian pada karya disertasi Doktor yang ada pada PPs IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sejak tahun 1983 sampai November 2003. Sampai bulan ini, Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga telah meluluskan 85 orang Doktor (Dr.).[12] Karya disertasi dipilih karena ia merupakan hasil penelitian mendalam, bersifat mandiri dan berisi sumbangan pemikiran baru bagi perkembangan ilmu pengetahuan agama Islam yang dilakukan oleh mahasiswa program doktor di bawah bimbingan promotor.[13] Dengan kajian ini diperoleh gambaran tentang tema kajian dan metodologi yang selama ini dikembangkan pada tingkat pascasarjana IAIN. Selain itu, dengan kajian ini juga akan diketahui corak dan karakteristik kajian Islam yang ada di PPs IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, apakah bercorak normatif-doktriner seperti yang menjadi trend umum dunia Timur, ataukah lebih bercorak historis-sosiologis. Corak yang pertama lebih menitikberatkan kajian pada pengembangan konsep yang tertuang dalam berbagai literatur Islam klasik, sementara corak yang kedua lebih menekankan kajian pada berbagai persoalan kontemporer yang ada di masyarakat (living issues).
[1] Fazlur Rahman, Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago & London: the University of Chicago Press, 1982).
[2] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Araby (Beirut: al-Markaz al-Thaqafy al-‘Araby, 1991).
[3] M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas ? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
[4] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999).
[5] Ibid., 238.
[6] Ibid., 159.
[7] Tim Penyusun IAIN Sunan Kalijaga, Buku Panduan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000), 153.
[8] Seyyed Hossein Nasr, “On the Teaching of Philosophy in the Muslim World,” Hamdard Islamicus, Vol. IV, No. 2, 1981.
[9] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, 28.
[10] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), 150-3.
[11] M. Damami, dkk., “H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan dan Kecendekiaan,” dalam Abdurrahman, Burhanuddin Daya, dan Djam’annuri (eds.), 70 Tahun H.A. Mukti Ali: Agama dan Masyarakat (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993), 31.
[12] Lihat Newsletter Media Komunikasi dan Informasi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, No. 14 (Januari-Maret 2001), 4.
[13] Lihat Peraturan IAIN Sunan Kalijaga No. 138 Tahun 1995 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Yogyakarta: Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1996), 34.
Lanjutkan membaca “Peta Studi Islam Tingkat Doktor sebelum Transformasi UIN Sunan Kalijaga“