Ujian Tergantung Tujuan Hidup Kita

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Dalam sebuah pelatihan Saya pernah bertanya kepada peserta, “Apakah Bapak/Ibu punya masalah?” Hampir semua peserta mengatakan, “Punya”. “Berbahagialah Bapak/Ibu yang sadar sedang mempunyai masalah,” respon Saya. Mengapa demikian? “Insyaallah derajat Bapak/Ibu akan segera meningkat.” Percayalah, Allah tidak akan memberikan beban dan masalah di luar batas kemampuan kita. Artinya, kita semua pasti dapat mengatasi persoalan tersebut, dengan syarat kita ber-positive thinking kepada Allah. Bukankah di dalam setiap kesulitan pasti ada banyak kemudahan? Yang menjadi persoalan adalah jenis mindset apa yang kita miliki, apakah fixed mindset ataukah growth mindset. Mindset pertama cenderung berada di comfort zone, lebih berorientasi pada masa lalu, mager, dan lebih berbasis masalah. Pertanyaan yang sering dimiliki mindset ini adalah why, mengapa, selalu mempertanyakan situasi yang menimpa atau terjadi, menyalahkan keadaan, bahkan scapegoating, mencari kambing hitam. Bagi pemilik mindset jenis ini, perubahan harus dihindari karena menjadi ancaman dan gangguan.

Berbeda dengan fixed mindset, pemilik growth mindset lebih menyukai perubahan. Bagi mindset ini, perubahan adalah sebuah berkah (blessing), bukan musibah (disaster). Peningkatan kualitas diri hanya terjadi jika kita siap dan mau berubah. Karena itu, pemilik mindset ini sangat menyadari bahwa meskipun dampak dari perubahan adalah masalah dan tantangan baru namun perubahan merupakan kesempatan dan peluang untuk meningkatkan kapasitan diri. Pertanyaan yang dimunculkan pemilik mindset ini adalah how, bagaimana mengatasi persoalan, bukan mengeluh dan menyalahkan persoalan. Di antara softskill yang dimiliki pemilik mindset ini adalah learning to learn, learning to grow dan learning to change. Semua persoalan dan tantangan akan mudah diselesaikan jika kita mempunyai mindset ini. Bagi pemilik mindset ini cara meningkatkan derajat adalah dengan menghadapi masalah sebagai ujian hidup. Bagaimana mungkin kita mau naik kelas atau derajat jika tidak pernah ikut ujian. Karena itu, ujian hidup yang berupa masalah seakan-akan menjadi “sesuatu yang ditunggu” untuk dapat naik tingkat.

Growth mindset lebih menyukai perubahan

Dr. Muqowim, M. Ag.

Terkait dengan kegigihan dalam menghadapi masalah, kita dapat belajar dari kerang yang menghasilkan mutiara. Untuk menjadi “kerang mutiara” yang harganya mencapai puluhan, bahkan, ratusan juta rupiah, kerang berjuang menahan luka yang menyakitkan selama bertahun-tahun. Sebab, proses terjadinya mutiara dimulai saat kerang ini kemasukan sebutir pasir atau benda padat kedalam tubuhnya. Untuk menahan sakit, moluska ini menggunakan getah di perutnya untuk membalut pasir dengan nacre, yaitu lapisan pelindung di sekelilingnya. Semakin lama lapisan nacre ini terus terbentuk, akhirnya memisah dari tubuh kerang hingga mutiara semakin terbentuk dengan jelas. Setelah sekian tahun penuh perjuangan mengatasi masalah, derajat kerang tersebut meningkat menjadi “kerang mutiara” yang harganya mahal, sedangkan kerang yang tidak menghadapi masalah menjadi “kerang rebus” yang harganya murah untuk konsumsi manusia. Belajar dari perjuangan kerang tersebut, kita dihadapkan pada dua opsi apakah kita akan memilih menjadi “manusia mutiara” atau “manusia rebus”?

Fixed Mindset vs Growth Midset

Jika kita memilih menjadi manusia mutiara, maka perubahan adalah sebuah keniscayaan. Kesadaran tentang pentingnya perubahan ini bukan “asal berubah” tetapi muncul dari deep reflection, self-digesting, dan self-disrupting sehingga muncul resolusi baru tentang tujuan hidup yang diyakini akan mendatangkan kebaikan dan kemanfaatan di masa depan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut kita sudah menyiapkan sejumlah langkah yang menjadi prioritas. Kesiapan mental ini menjadi fondasi penting ketika dihadapkan pada persoalan dan tantangan baru. Kita sadar bahwa kalau kita menginginkan “naik kelas” pada level propinsi maka ujiannya juga pasti tingkat propinsi. Begitu juga kalau yang didambakan adalah level nasional atau internasional, maka kita harus siap menyelesaikan ujian pada level tersebut. Bukankah Allah berfirman bahwa, “Belum disebut orang yang beriman jika belum diuji [oleh Allah]”. Iman dalam konteks ini terkait dengan keyakinan kita terhadap mimpi dan tujuan hidup yang telah dibuat. Karena itu, ketika dihadapkan pada tantangan, kita menghadapi dengan “senang dan sepenuh hati”.

Kesiapan mental dalam menghadapi setiap persoalan dan tantangan kehidupan tersebut menjadikan kita merencanakan langkah dengan cermat. Berbagai alternatif dalam melangkah disiapkan. Ketika kita melangkah dengan Plan A mengalami kegagalan, kita segera mengevaluasi langkah tersebut dan kita sudah siap dengan Plan B. Ketika melangkah dengan Plan B menghadapi persoalan pun kita sudah menyiapkan Plan C. Dengan pola berpikir seperti ini sebenarnya kita sudah menerapkan paradigma “Education 4.0”. Ada tiga langkah yang harus dilakukan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 bagi dunia pendidikan yaitu reflection, anticipation, dan action. Tahap pertama adalah kemampuan merefleksikan setiap momen atau langkah yang telah diambil, apakah berhasil ataukah gagal. Pelajaran, inspirasi, nilai atau insight dari proses refleksi inilah yang kita jadikan sebagai bahan untuk tahap kedua, yaitu antisipasi. Tahap ini sesuai dengan paradigma antisipatoris, yaitu siap melangkah dalam segala situasi. Karena itu, tahap aksi pada dasarnya dilakukan setelah membuat berbagai langkah antisipatif dalam menghadapi tantangan dan perubahan agar tujuan hidup kita berhasil diwujudkan.

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *