Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)
Salah satu paradigma penting pendidikan abad ke-21 adalah critical thinking and problem solving. Dengan paradigma ini kita seharusnya melihat setiap persoalan dan tantangan secara kritis, tidak taken for granted. Berpikir kritis juga dapat diartikan melihat persoalan dari berbagai sudut pandang, minimal dua perspektif. Kita tidak melihat persoalan hanya dengan monoperspektif, menggunakan kaca mata kuda, berpikir hitam putih dan binary opposition saja. Hal ini penting kita lakukan sebab di tengah banjir informasi melalui magic tool yang kita pegang kadang menjadikan kita terpengaruh, terbawa emosi, dan baper, terlebih informasi tersebut berkaitan dengan kepentingan kita. Jika kurang hati-hati kita kadang ikut-ikutan share dan forward informasi yang “seakan-akan benar” padahal dari sumber yang belum jelas. Munculnnya banyak berita hoax dan fake news ini semakin marak ketika mendekati pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden. Banyak kelompok kepentingan memanfaatkan media sosial untuk mempengaruhi masa guna menggaet voter sebanyak-banyaknya. Berbagai cara dilakukan, seringkali tidak lagi dengan menggunakan pertimbangan rasional dan moral.
Untuk menghadapi situasi tersebut kita perlu mempunyai kesadaran kritis dan transformatif. Kesadaran kritis hanya kita miliki jika kita melihat persoalan dengan multiperspektif, lebih dari satu sudut pandang. Harus kita sadari, bagaimanapun sudut pandang kita terbatas, sebab apa yang kita tawarkan tidak lebih dari apa yang selama ini kita ketahui dan alami, dibatasi locus dan tempus. Kita memerlukan sudut pandang berbeda, dari pengetahuan dan pengalaman orang lain. Semakin banyak perspektif yang kita gunakan semakin banyak alternatif pemecahan yang kita tawarkan. Harapannya, solusi yang kita berikan relatif diterima banyak pihak sebab mempertimbangkan banyak kepentingan. “Menjadi orang yang solutif”, kata Bu Tejo, memang tidak mudah sebab kita harus mampu memahami esensi masalah dan pendekatan yang tepat dalam penyelesaian masalah tersebut. Pilihan menjadi problem solver merupakan opsi ideal dalam konteks disrupsi, sebab banyak orang yang mungkin ikut-ikutan sebagai part of the problem, bahkan menjadi trouble maker, sebagai sumber persoalan. Untuk bisa menjadi problem solver kita harus mempunyai kesadaran kritis. Menurut OECD kita perlu membekali diri dengan multiliterasi.
Sebelum membahas secara singkat tentang multiliterasi kita perlu memahami sekilas tentang makna literasi. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) literasi mempunyai tiga pengertian. Pertama, literasi diartikan sebagai kemampuan menulis dan membaca. Kedua, literasi dimaknai sebagai pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu. Ketiga, literasi artinya kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Sementara itu, menurut Alvin Toffler, pengertian literasi tidak hanya sebatas pada kemampuan membaca dan menulis, namun kemampuan melakukan proses learning, unlearning, dan relearning. Learning artinya constructing, mengumpulkan informasi dan pengalaman sebanyak-banyaknya melalui membaca baik membaca teks maupun konteks. Unlearning adalah deconstructing, kemampuan merefleksikan setiap pengetahuan dan pengalaman yang telah kita baca tersebut. Sementara itu, relearning adalah reconstructing, yaitu kemampuan menerapkan hasil refleksi tersebut untuk proses transformasi diri dan realitas sekitar.
Dengan pengertian tersebut, literasi hakikatnya tidak sebatas pada aspek membaca dan menulis saja, namun juga untuk bidang-bidang lain. Karena itu, kemampuan multiliterasi penting kita miliki. Multiliterasi pada dasarnya terkait dengan kemampuan memahami dan menawarkan solusi dari seluruh aspek kehidupan. Karena itu, multiliterasi antara lain mencakup literasi bahasa, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, literasi budaya, dan literasi religius. Literasi bahasa antara lain terkait dengan kemampuan membaca dan menulis termasuk di dalamnya menghayati dan mengamalkan apa yang dibaca dan ditulis untuk tujuan positif. Implikasi dari pengertian ini adalah jika kita baru sebatas membaca, apalagi yang dibaca cenderung negatif dan tidak sesuai dengan tujuan hidup, dan tidak mampu menghayati dan mengambil nilai positif serta belum mengamalkan inspirasi dari yang dibaca sebenarnya kita masih termasuk orang yang buta huruf (illiterate). Karena itu, kemampuan membaca harus dibarengi dengan merefleksikan apa yang kita baca dan mengimplementasikan hasil bacaan tersebut untuk mengatasi persoalan yang kita hadapi dan realitas sekitar.
Literasi bahasa sangat penting di era digital saat ini sebab setiap saat aliran informasi semakin deras melalui media sosial seperti WA, FB, IG, twitter dan telegram. Menghadapi gempuran informasi tersebut kita harus mampu memilih dan memilah mana yang layak dibaca dan mana yang tidak. Di antara ukuran penting yang kita gunakan adalah apakah hal tersebut sesuai dengan tujuan hidup yang telah kita buat ataukah tidak. Selain itu, kita harus merefleksikan setiap yang kita baca agar dapat diambil inspirasi, ide dan nilainya sehingga dapat digunakan untuk mempercepat pencapaian tujuan hidup. Selanjutnya, berdasarkan hasil refleksi yang berupa ide dan inspirasi tersebut kita gunakan sebagai bahan untuk melakukan transformasi diri guna meraih mimpi yang telah kita yakini. Dengan literasi bahasa, semua yang kita baca, yang kita tulis, yang kita katakan, dan yang kita dengar, seharusnya selalu terkait dengan hal-hal positif. Jadi, bahasa bukan sebagai hardskill tetapi sebagai softskill.
Dengan literasi bahasa, semua yang kita baca, yang kita tulis, yang kita katakan, dan yang kita dengar, seharusnya selalu terkait dengan hal-hal positif. Jadi, bahasa bukan sebagai hardskill tetapi sebagai softskill.
Dr. Muqowim, M. Ag.
Sejauh ini, jika kita perhatikan, pembelajaran Bahasa di lembaga pendidikan cenderung menekankan bahasa sebagai hardskill, belum ke arah softskill. Hal ini antara lain tampak dari penekanan pada aspek struktur dan tata bahasa, belum menjadikan bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi secara positif dan efektif dengan orang lain. Salah satu dampaknya, boleh jadi nilai (grade) bahasa kita tinggi tetapi tidak fungsional. Kita masih menderita functional illiteracy, buta huruf fungsional. Kita juga sering menyaksikan orang yang mempunyai TOEFL score-nya tinggi namun ketika berbicara kepada orang lain sering menyakitkan, nyinyir, meremehkan dan merendahkan orang lain dengan kemampuan bahasa yang dimiliki baik bahasa lisan maupun tulis. Kita mudah menemukan ungkapan-ungkapan bernada negatif tersebut melalui media sosial. Ini merupakan gejala buta huruf bahasa yang perlu kita cermati dan refleksikan bersama sebab boleh jadi kita masih termasuk dalam kategori ini juga. Tentu fenomena ini menjadi tantangan tersendiri bagi orangtua, guru dan dosen bahasa untuk lebih mengubah pendekatan pembelajaran bahasa sebagai alat komunikasi efektif dan positif dengan sesame baik luring maupun daring, baik secara oral (lisan), written (tertulis) maupun gesture (bahasa tubuh).