Memimpin Diri Sendiri

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Setiap orang pada dasarnya adalah pemimpin. Dalam bahasa Inggris pemimpin artinya leader, yang berasal dari kata kerja to lead yang berarti memimpin. Kata ini sinonim dengan to head (mengepalai), to preside (mengetuai), to guide (membimbing), to conduct (mengadakan) dan to direct (mengarahkan). Secara umum memimpin dapat diartikan dengan bergerak lebih awal, berjalan di depan, berbuat lebih dahulu, memelopori, mengarahkan yang lain, membimbing dan menggerakkan sesuatu atau orang ke arah yang diinginkan. Kalau kita tidak dapat memimpin ke suatu arah yang sudah ditentukan maka disebut salah arah dan tersesat atau misleading. Agar kita tidak salah dalam melangkah, maka seorang pemimpin harus tahu tujuan, tidak asal melangkah. Dalam konteks personal, kita harus tahu betul arah tujuan hidup kita sendiri. Dalam konteks kelembagaan, seorang pemimpin harus tahu arah yang akan dituju oleh lembaga yang dipimpinnya. Agar tidak salah arah, seorang pemimpin perlu rambu-rambu atau guideline. Petunjuk ini dapat berupa tujuan atau renstra (rencana strategis) yang telah dibuat. Jika kita berjalan tidak sesuai dengan tujuan tersebut maka kita termasuk orang yang salah arah, karena itu kita perlu refocusing dengan titik keberangkatan dan akhir tujuan yang dibuat. Untuk itu, kita perlu menyadari makna kepemimpinan itu sendiri.

“Setiap orang pada dasarnya adalah pemimpin.”

Dr. Muqowim, M. Ag.

Menurut John Maxwell inti kepemimpinan adalah pengaruh. Jika hal ini kita kaitkan dengan konteks semua orang adalah pemimpin, maka setiap diri kita harus mampu memberikan pengaruh terhadap semua yang kita miliki. Seluruh bagian dari diri kita seharusnya berada dalam pengaruh kita sendiri, tidak dipengaruhi atau dikendalikan oleh orang lain, sebab pada akhirnya kitalah yang harus bertanggung jawab tentang arah perjalanan hidup dan apa yang kita lakukan. Semua perilaku panca indra yang kita miliki apakah sudah dalam pengaruh kita atau belum. Apakah kita sudah mampu mempengaruhi perilaku mata, telinga, tangan, kaki, dan mulut? Mata kita gunakan untuk melihat apa saja dan mengapa? Telinga kita gunakan untuk mendengar apa dan mengapa? Tangan kita gunakan untuk memegang apa dan mengapa? Kaki kita gunakan untuk melangkah kemana dan mengapa? Mulut kita gunakan untuk berbicara tentang apa dan mengapa? Pertanyaan yang sama juga berlaku untuk hati dan pikiran, apakah kita sudah mampu mempengaruhi keduanya?

Munculnya kebiasaan negatif dari panca indra dalam diri kita boleh jadi karena kita belum mampu mempengaruhi indra kita ke arah yang tepat. Mata masih kita gunakan untuk melihat atau membaca sesuatu yang “unfaidah”. Telinga masih kita gunakan untuk mendengarkan berita hoax atau fake news, mulut untuk membicarakan hal-hal yang negatif seperti “ngegosip”, nyinyirin orang lain, atau membuat berita bohong. Kita masih menggunakan jari-jari tangan untuk mengetik di tut komputer atau smartphone terkait hal-hal yang kurang pantas. Pikiran belum dapat kita kendalikan untuk merenungkan hal-hal positif. Jika ini yang terjadi, maka sebenarnya kita belum mampu menjadi pemimpin untuk diri sendiri. Kita belum berjalan ke arah yang benar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Karena itu, kita harus mulai menyadari bahwa semua yang kita lakukan ada konsekuensi dan akan dimintai pertanggungjawaban di kemudian hari, baik ketika di dunia maupun di akhirat.

Agar kita mampu menjadi pemimpin yang baik untuk diri sendiri, ada beberapa hal yang harus kita miliki yaitu adaptable to situation (mampu beradaptasi dalam setiap situasi yang dihadapi), alert to social environment (selalu siap dalam lingkungan sosial tempat kita tinggal), ambitious and achievement-oriented (berorientasi pada prestasi atau pencapaian kualitas), assertive (bersikap asertif), cooperative (mampu bekerja sama), decisive (mampu mengambil keputusan secara cepat dan tepat), dependable (dapat diandalkan), energetic (penuh semangat), persistent (tekun dan telaten), self-confident (percaya diri), tolerant of stress (mampu menghadapi stres), dan willingness to take responsibility (mau mengambil tanggung jawab atas semua yang dilakukan). Jika kita cermati, berbagai karakter tersebut mengarah pada pola pemimpin transformatif, bukan transaksional. Pemimpin model pertama lebih berorientasi pada perubahan dari dalam, bukan karena faktor dari luar, sementara tipe kedua adalah pemimpin yang bergerak karena digerakkan oleh sesuatu di luar dirinya.

Agar kita mampu menjadi pemimpin diri sendiri, kita harus menyadari dan meyakini seluruh tujuan hidup yang telah dibuat. Bertolak dari tujuan ini kita harus mampu memetakan semua komponen yang ada dalam diri kita, sebab manusia pada dasarnya merupakan makhluk mikrokosmos yang bekerja secara sistemik, antara satu bagian dengan bagian lainnya saling berkaitan. Kemampuan memetakan semua komponen beserta “tupoksi”-nya perlu segera kita tindak lanjuti dengan mengelola secara tepat. Agar semua komponen dalam diri kita tidak berjalan “pathing blasur”, kesana-kemari, tidak beraturan, maka kita harus mampu menjadi konduktor atau dirigen dalam sebuah orchestra. Kadang kita mengalami antara satu bagian dengan bagian lain dalam diri kita tidak berjalan seirama, misalnya tubuh kita berjalan ke kanan, pikiran kita ke kiri, dan hati kita ke depan, ketiganya seakan tidak saling terhubung, tidak saling terkoneksi. Akibatnya, kita tidak sadar dengan yang dilakukan, karena itu tujuan hidup yang kita buat tidak pernah dapat kita capai.

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *