Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)
Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan mengatasi tantangan abad ke-21, yaitu menciptakan dunia yang lebih baik, well-being and sustainable-oriented, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), melalui wadah OECD Learning Compass 2030, telah mengintrodusir “transformative competencies” dalam pendidikan. Hal ini sejalan dengan pilar pendidikan UNESCO yang kelima, yaitu learning to transform oneself and society. Kompetensi ini juga diperlukan untuk mendukung pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs) yang telah dicanangkan PBB sejak tahun 2015 dan harus tercapai tahun 2030, terkait pentingnya pembangunan berkelanjutan yang mencakup 17 target termasuk bidang pendidikan. Dengan kompetensi ini diharapkan setiap orang, melalui proses pendidikan, mampu memberikan kontribusi untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik. Ada tiga kompetensi dalam kompetensi transformatif tersebut yaitu “creating new value”, “reconciling tensions and dilemmas”, dan “taking responsibility”.
Kompetensi pertama, creating new value, yaitu pentingnya memiliki kemampuan melakukan inovasi. Bentuk inovasi ini dilakukan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik misalnya dengan membuka lapangan pekerjaan baru, bisnis dan jasa. Bentuk inovasi tersebut juga dapat dilakukan dengan mengembangkan pengetahuan, wawasan, gagasan, teknik, strategi dan solusi baru. Semua hal baru tersebut harus dapat diterapkan untuk menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan. Menurut OECD, ketika kita mampu menciptakan nilai baru, pada dasarnya kita telah berani mempertanyakan status quo. Kita telah menggeser paradigma dari fixed mindset menjadi growth mindset. Kemampuan menciptakan nilai baru tersebut juga merupakan bukti bahwa kita mampu berkolaborasi dengan pihak lain dan telah berpikir “outside the box”, keluar dari kotak rutinitas. Kompetensi ini menegaskan pentingnya aspek nilai daripada formal-material.
Perubahan revolusioner yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan munculnya banyak paradox dan dilemma. Karena itu, kompetensi kedua yang ditawarkan oleh tim OECD adalah “reconciling tensions and dilemmas”, artinya kita mempunyai kemampuan interkoneksi dan interrelasi antar berbagai gagasan, logika dan posisi yang tampak saling kontradiksi atau tidak sesuai satu sama lain. Dengan kompetensi ini, kita mampu membuat pertimbangan terkait hasil tindakan yang akan kita lakukan baik untuk konteks jangka pendek maupun jangka panjang. Agar kita mempunyai kompetensi ini kita harus mampu bersikap inklusif dan fleksibel. Kita harus mampu memahami semua entitas yang beragam dan berbeda tersebut, mengembangkan argumen yang dapat mendukung posisi baru serta mampu menemukan solusi praktis dari semua dilema dan konflik.
Di abad ke-21, sebenarnya kita lebih membutuhkan spirit kolaborasi, sinergi, dan komunikasi dengan semua pihak, bukan kompetisi dan kontestasi. Orang yang mampu mencari titik tengah dan “menjadi penghubung” berbagai pihak yang berbeda akan keluar sebagai pemenangnya. Untuk mewujudkan hal ini kita harus mampu menghargai diri sendiri dan orang lain, bersikap terbuka (open-minded), rendah hati (humble), mengendalikan diri (self-control), lapang dada, dan mempunyai kemampuan multiliterasi. Ketika dihadapkan beragam persoalan dan tantangan yang tampak kontradiksi satu dengan yang lain kita perlu lebih melihat pada aspek substansi dan mencari titik persamaan, bukan mencari sisi perbedaan. Dengan menekankan sisi similarity antar entitas yang berbeda maka kita akan mengalami banyak perjumpaan dan mampu menghubungkan satu titik dengan titik yang lain.
“Di abad ke-21, sebenarnya kita lebih membutuhkan spirit kolaborasi, sinergi, dan komunikasi dengan semua pihak, bukan kompetisi dan kontestasi.”
Dr. Muqowim, M. Ag.
Sementara itu, kompetensi ketiga yang ditawarkan OECD adalah taking responsibility, yaitu bertanggung jawab. Kompetensi ini terkait dengan kemampuan merefleksikan dan mengevaluasi tindakan yang pernah kita lakukan dalam konteks pengalaman dan pendidikan yang pernah kita alami. Semua tindakan yang kita lakukan harus mempunyai fondasi kuat dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara pribadi, etika dan masyarakat. Karena itu, sebelum mengambil tindakan kita harus mempertimbangkan dari semua aspek terutama dasar pemikiran, pendekatan dan impact yang akan muncul. Dalam hal ini kematangan intelektual dan moral (intellectual and moral maturity) sangat ditekankan. Kematangan intelektual terkait dengan academic reasoning dari tindakan yang kita ambil, sedangkan kematangan moral terkait dengan social norms di masyarakat.
Kompetensi bertanggung jawab ini semakin diperlukan di era Revolusi Industri 4.0, sebab setiap orang menjadi warga global yang terhubung dengan orang di seluruh dunia. Dunia berada di dalam genggaman kita melalui smartphone. Kita dapat menyaksikan semua peristiwa di berbagai penjuru dunia secara langsung, real time, tidak perlu siaran tunda. Di satu sisi kita dimudahkan melalui kemajuan teknologi IT, khususnya munculnya artificial intelligence, kecerdasan buatan, tetapi di sisi lain kesiapan mental dan karakter tanggung jawab kita diuji sebab kita berhadapan dengan beragam identitas yang belum pernah kita kenal sebelumnya. Kita berhadapan dengan beragam orang dari seluruh dunia yang mempunyai kebiasaan (‘urf) berbeda. Ketika kita tidak memahami keragaman tersebut, maka kita cenderung melihat mereka dengan perspektif dan kebiasaan yang kita miliki. Jika hal ini kita lakukan, maka akan terjadi benturan identitas, cenderung menghakimi dan menyalahkan orang lain.
Kompetensi transformatif di atas hanya dapat kita miliki jika kita mempunyai growth mindset dengan ciri willingness to learn, willingness to grow dan willingness to change. Kita lebih berorientasi pada masa depan dengan shifting paradigm dengan nilai-nilai positif sehingga mampu menciptakan nilai positif di masa depan. Berpikir dan bersikap positif yang kita lakukan saat ini menjadi modal penting untuk menciptakan nilai baru. Sikap ini juga menjadikan kita siap menghadapi segala situasi yang penuh dengan ketidakpastian (uncertainty) dan turbulensi (turbulence). Situasi ketidakpastian tersebut harus kita sikapi dengan penuh kepastian, dalam arti kita harus merumuskan tujuan hidup secara jelas dengan berbasiskan nilai dan spiritualitas. Kejelasan tujuan hidup ini merupakan bentuk nyata kita telah melakukan self-transforming sehingga kita melangkah dengan positive thinking. Kita siap mewujudkan the real self, kondisi senyatanya saat ini, menuju the ideal self, menjadi diri yang kita idealkan atau cita-citakan.