Tentukan Core Values Anda

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)
Sebagian besar kita mungkin pernah ditanya oleh orangtua atau guru waktu masih sekolah di tingkat dasar terkait “kalau besar ingin jadi apa”. Sebagian kita menjawab “Polisi”, “Dokter”, “Pilot”, “Tentara”, “Insinyur”, “Perawat”, dan “Guru”. Sekilas jawaban tersebut terkesan natural dan tidak mempunyai dampak panjang, padahal kalau kita renungkan lebih mendalam ada beberapa poin yang membuat kita berpikir ulang tentang pertanyaan dan jawaban tersebut khususnya terkait dengan implikasi jangka panjang (repercussion)-nya. Pertama, sebagian besar profesi yang dipilih adalah yang dianggap lebih menjanjikan masa depan secara material. Jarang kita mendengar anak yang bercita-cita menjadi “Cleaning Service”, “Petani”, “Nelayan”, dan “Juru Parkir”. Apakah salah dengan jawaban tersebut? Tentu kita tidak bisa menyalahkan jawaban tersebut, sebab setiap jawaban bersumber dari pikiran masing-masing anak. Jawaban prioritas yang muncul adalah yang paling sering masuk di pikiran kita terkait profesi mana yang “lebih baik”. Siapa yang memasukkan file ke kepala kita tersebut? Tentu orang-orang terdekat seperti orangtua dan guru. Pengalaman dan pengetahuan kita tentang profesi tersebut menjadikan kita memilih mana profesi yang dianggap lebih baik dibandingkan dengan profesi lain.

Sangat manusiawi setiap diri kita, termasuk orangtua dan guru, menginginkan masa depan yang lebih baik secara material seperti pendapatan tinggi, tidak hanya active income tapi juga passive income, jabatan prestisius, terkenal, dan harta melimpah. Sebagai sebuah motivasi sebenarnya hal ini tidak menjadi persoalan, tetapi apakah kita pernah merenungkan dampak narasi tersebut terhadap profesi lain? Apa yang terjadi jika tidak banyak anak yang tertarik menjadi petani? Siapa yang akan melakukan proses intensifikasi dan diversifikasi pertanian kalau bukan kita? Siapa yang akan memikirkan cara paling efektif yang tidak merusak lingkungan ketika menangkap ikan? Sebenarnya ini terkait dengan pilihan peran tiap orang di masa depan. Selain itu, orientasi “materialistic attachment” dari profesi tersebut menjadikan kita lebih bersikap material-kapitalis, tidak fokus pada nilai (value) dari sebuah profesi atau pekerjaan. Beruntunglah kita yang mendapat penjelasan tentang nilai yang terkandung pada profesi yang kita idam-idamkan tersebut dari orang terdekat.

Reperkusi kedua dari penekanan pada keuntungan materi dari profesi yang kita cita-citakan adalah hilangnya kesadaran tentang makna hidup. Ada ungkapan “hidup adalah untuk mencari makna, bukan mencari makan”. Ukuran kehebatan seseorang dengan ukuran materi dapat menjadikan kita saling berkejaran menumpuk kekayaan, mengejar jabatan, dan mencari ketenaran, meskipun dengan berbagai macam cara, yang kadang tidak dibenarkan secara moral dan intelektual. Munculnya berbagai kasus penyimpangan seperti korupsi dan manipulasi sebagian disebabkan oleh dominasi orientasi jangka pendek yang bersifat material-duniawi, melupakan orientasi spiritual-ukhrawi. Lalu, apakah kita tidak boleh bercita-cita mempunyai keunggulan material tersebut? Tentu sangat boleh dan menjadi hak setiap orang untuk memilih, namun apakah kita sudah merenungkan tentang akhir perjalanan hidup kita? Apakah semua yang kita pilih tersebut dapat mendatangkan kebaikan di kemudian hari dan mampu menyelamatkan kita kelak ketika di akhirat? Kita sendirilah yang dapat menjawab pertanyaan ini sebab kita sendiri juga yang kelak akan mempertanggungjawabkan setiap tindakan yang kita lakukan.

Beberapa pemikiran tersebut dapat kita jadikan sebagai bahan refleksi tentang pilihan cita-cita dan mimpi yang akan dibuat, apakah kita lebih menekankan pada materi (body consciousness) atau nilai (value consciousness). Ketika kita fokus pada materi maka langkah yang kita lakukan lebih berorientasi material juga, sedangkan kalau kita menitikberatkan pada aspek nilai maka semua tindakan akan berbasis nilai. Dikaitkan dengan cita-cita dan tujuan hidup, misalnya, ketika kita ingin bahagia dan membahagiakan sekitar, maka kita dapat memilih profesi apa saja, tidak harus dokter atau insinyur, sebab profesi petani juga dapat membuat kita bahagia dan membahagiakan orang lain. Ketika nilai kebahagiaan, juga nilai-nilai positif lain, ini kita jadikan sebagai acuan dalam membuat tujuan hidup, maka setiap target diorientasikan untuk mendapatkan nilai tersebut baik target jangka pendek seperti harian dan mingguan maupun target jangka panjang seperti bulanan dan tahunan seperti sepuluh tahun, bahkan tujuan akhir hidup kita. Orientasi nilai tersebut dapat kita wujudkan melalui profesi apa saja, tidak hanya beberapa profesi yang selama ini dianggap “promising”, menjanjikan masa depan, sebab pada kenyataannya, seiring dengan perkembangan jaman, jenis profesi mengalami perkembangan.

Pada dekade 80-an atau 90-an, kita belum mengenal profesi youtuber atau podcast sebab pekerjaan ini muncul seiring dengan Revolusi Industri di mana segala sesuatu serba internet (internet of things). Saat ini menjadi youtuber dapat menjanjikan materi melimpah dan ketenaran tanpa batas. Kalau orientasi ini yang kita tekankan, maka semua konten yang kita upload di kanal youtube belum tentu berorientasi pada kebaikan tetapi mungkin lebih pada keuntungan material. Jika kita mengunggah satu konten kebaikan dan diikuti oleh seribu atau sejuta follower, maka pada dasarnya kita akan mendapatkan “amal jariyah”. Sebaliknya, jika yang kita unggah adalah hal-hal yang bersifat negatif kemudian sejuta follower menjalankan yang kita unggah, maka kita mendapatkan “dosa jariyah”. Ini hanyalah sebuah refleksi tentang dampak dari tujuan hidup yang kita pilih. Karena itu, membuat resolusi dan tujuan hidup berbasis nilai-nilai inti yang positif menjadi sebuah pilihan agar hidup kita lebih bermanfaat, bermakna dan penuh keberkahan. Tentang target pencapaian dan lingkup yang akan kita raih tergantung kita, semakin luas lingkup yang kita buat tentu lebih baik.

Bayangkan jika sepuluh tahun lagi kita menjadi pribadi yang dapat menebarkan nilai cinta, welas asih, kepedulian, kedamaian, toleransi, menghargai, kebahagiaan, dan kejujuran kepada sepuluh juta orang atau bahkan lebih sesuai dengan pilihan profesi kita masing-masing. Nilai-nilai tersebut dapat kita tebarkan melalui profesi pilihan masing-masing seperti dosen di perguruan tinggi, guru di sekolah, aktivis lingkungan, dokter anak, nelayan, youtuber, dan ibu rumah tangga. Mengapa ibu rumah tangga juga dapat melakukan ini? Di era yang serba tanpa batas (borderless world) ini semua yang kita lakukan dapat kita share melalui berbagai media virtual sesuai dengan platform yang kita pilih. Seorang ibu rumah tangga dapat menginspirasi orang lain di seluruh dunia tanpa batasan waktu dan ruang. Karena itu, menentukan core values (nilai-nilai inti) dalam tujuan hidup kita seharusnya menjadi prioritas. Bukankah kita telah diingatkan oleh salah satu lirik lagu Indonesia Raya, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”, bahwa jiwa atau nilai lebih penting daripada fisik-material. Semoga kita dapat menebarkan kualitas positif melalui tujuan hidup yang kita pilih untuk membuat diri kita menjadi lebih baik, bangsa kita lebih baik, dan dunia menjadi lebih baik.

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *