Urgensi Multiliterasi: Religious Literacy [6]

Dr. Muqowim, M. Ag.
Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Karen Armstrong pernah menulis buku berjudul Charter for Compassion yang berisi pentingnya bersikap welas asih dalam beragama. Menurutnya prinsip welas asih sebenarnya ada di semua tradisi agama, etika atau kerohanian. Dia menyerukan pentingnya memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Welas asih membuat kita berusaha untuk menghapuskan penderitaan sesama manusia. Kita juga perlu melepaskan kepentingan dan ego untuk menyebarkan kebaikan dan kesejahteraan orang lain dan memperlakukan setiap orang dengan adil, sama dan hormat tanpa pengecualian. Kita perlu menahan diri secara terus-menerus dari tindakan menyakiti, menghindari bertindak dan berkata kasar karena rasa dendam, kesombongan dan kepentingan diri, mengurangi eksploitasi orang lain dan menghasut kebencian melalui fitnah. Melalui karya tersebut, Armstrong juga menyeru semua orang agar menghidupkan kembali perasaan welas asih sebagai asas etika dan agama, mengembalikan penafsiran Kitab Suci untuk menghindari munculnya kekerasan, kebencian atau penghinaan dan pentingnya menyemai empati atas penderitaan sesama umat manusia.

Dalam tradisi Islam, setiap umatnya didorong untuk selalu membaca “basmalah” sebelum memulai aktivitas. “Dengan menyebut nama Allah, yang Maha Pengasih (ar-rahman), lagi Maha Penyayang (ar-rahim)”. Dikaitkan dengan kegelisahan dan anjuran dari Armstrong, tradisi ini sebenarnya merupakan jawaban konkret, bahwa seharusnya setiap orang Islam sebagai agen nilai kasih sayang dan welas asih. Hanya saja, secara empirik nilai ini belum sepenuhnya, atau masih jauh, dari dirasakan oleh sesama manusia. Mengapa demikian? Sebagian besar pemeluk Islam berdoa dengan “basmalah” masih sebatas rutinitas, dilakukan secara kognitif dan hafalan, belum sampai dihayati, dirasakan dan diimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam “basmalah” tersebut dalam kenyataan. Akibatnya, meskipun doa ini terus dipanjatkan setiap saat, tetapi belum berbanding lurus dengan sikap dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai welas asih dan kasih sayang. Fenomena beragama kita agaknya masih didominasi pada aspek output, bukan outcome.

Penekanan pada aspek output menjadikan beragama lebih berorientasi pada dimensi kuantitatif, nominal, permukaan, dan tampilan fisik, sedangkan aspek outcome menekankan pada kualitas, spiritual, ruh, dan implementasi nilai dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena ini juga tampak dari proses pendidikan agama di banyak lembaga pendidikan yang lebih mengejar angka (grade) daripada nilai (value). Akibatnya, banyak peserta didik yang nilai agamanya bagus tetapi tidak diimbangi dengan implementasi nilai-nilai agama dalam kehidupan nyata. Sebagian pemeluk agama Islam masih belum berakhlak. Padahal jika berorientasi pada outcome, maka untuk mewujudkan misi rahmatan lil-‘alamin lebih mudah dilakukan. Misi ini tidak akan pernah dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata jika model beragama umat Islam lebih mengejar aspek output, bukan outcome. Banyak perilaku beragama kita lebih berorientasi pada having a religion, belum mengarah ke being religious.

Orientasi having a religion lebih mengarah pada mempunyai identitas agama secara formal, belum tentu memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama yang dianut. Sementara itu, being religious lebih menekankan pada pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai yang terkandung di dalam agama. Wajar jika dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Rehman dan Askari, peneliti dari George Washington University, tahun 2010, tentang negara paling islami di dunia, dari 200an negara yang diteliti tidak ada satu pun negara anggota OKI yang menempati 10 besar. Dalam survey ini ranking satu diduduki oleh Selandia Baru disusul beberapa negara dari Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, Denmark, Finlandia dan Islandia. Riset ini sebenarnya mengingatkan pengamatan Muhammad Iqbal, seorang filosof dan penyair asal Indo-Pakistan, lebih dari seratus tahun yang lalu ketika belajar ke Eropa (Jerman). Dia mengatakan “Saya melihat Islam di sini meskipun hanya sedikit orang Islam, sedangkan di negara Saya banyak orang Islam tapi tidak mencerminkan [nilai] Islam”. Beberapa pandangan tersebut parlu dijadikan bahan refleksi bagi setiap umat beragama, tidak hanya Islam tapi juga agama lain, tentang model beragama yang masih sebatas “mempunyai agama” tetapi “belum beragama”. Karena itu, literasi beragama (religious literacy) sangat penting.

Diane L. Moore dalam sebuah artikel berjudul “Overcoming Religious Illiteracy: A Cultural Studies Approach” yang dimuat dalam World Connected History, mendefinisikan religious literacy dengan “the ability to discern and analyze the fundamental intersections of religion and social, political, and cultural life through multiple lenses”. Literasi agama adalah kemampuan melihat dan menganalisis titik temu antara agama dan kehidupan sosial, politik, dan budaya dari beragam sudut pandang. Menurutnya, orang yang melek agama memiliki pemahaman dasar mengenai sejarah, teks-teks sentral, kepercayaan serta praktik tradisi keagamaan yang lahir dalam konteks sosial, sejarah, dan budaya tertentu. Selain itu, orang yang melek agama mempunyai kemampuan memahami dan mengeksplorasi berbagai dimensi agama melalui ekspresi politik, sosial, dan budaya melampaui ruang dan waktu. Menurutnya, untuk dapat mencintai tetangga kita yang berbeda agama, kita harus lebih mengenal dan memahami tetangga kita tersebut dengan baik. Semakin kita mengenal dan mengalami perjumpaan dengan yang berbeda semakin terhubung dan menghidupkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Semakin kita membatasi diri untuk berjumpa dan mengenal agama lain semakin besar terjadi benturan atau prasangka.

Dengan pengertian di atas, literasi beragama lebih menekankan pada pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai agama yang dianut agar nilai-nilai tersebut dirasakan oleh seluruh alam, tidak hanya manusia yang berbeda-beda latar belakang, namun juga binatang dan tumbuhan, bahkan benda mati sekalipun. Literasi ini hanya dapat diwujudkan melalui proses pendidikan yang dilakukan sejak usia dini terutama di lingkungan keluarga. Tentu saja pendidikan yang dimaksud di sini lebih kita pahami sebagai proses transformasi diri agar menjadi pribadi yang bernilai positif seperti penuh kedamaian, bahagia, cinta, berdaya dan ketulusan. Pembiasaan nilai-nilai agama yang universal tersebut seharusnya dilakukan di usia emas, sebab lebih dari 80% karakter terbentuk di usia ini. Karena anak di usia ini lebih memahami hal-hal yang bersifat konkret, maka contoh nyata atau modelling dari orang sekitar terutama orangtua dan guru sangat diperlukan. Ini berarti orangtua dan guru harus sudah melek agama (religious literate). Model beragama yang langsung menghidupkan nilai lebih baik daripada menekankan aspek indoktrinatif dan dogmatif. Bukankah di antara indikator nilai kerahmatan adalah membahagiakan, ramah, kasih sayang, rendah hati, menghargai, dan peduli?

“Literasi beragama lebih menekankan pada pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai agama yang dianut agar nilai-nilai tersebut dirasakan oleh seluruh alam, tidak hanya manusia yang berbeda-beda latar belakang, namun juga binatang dan tumbuhan, bahkan benda mati sekalipun. Literasi ini hanya dapat diwujudkan melalui proses pendidikan yang dilakukan sejak usia dini terutama di lingkungan keluarga. “

Dr. Muqowim, M. Ag.

About Muqowim

Pembina Rumah Kearifan (House of Wisdom). Accredited Trainer LVE. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View all posts by Muqowim →